Banyak cara yang dilakukan untuk mencuri hati mertua. Segala hal yang tidak pernah dilakukan atau tidak disukai bisa tiba-tiba menjadi hal yang menarik dan disukai. Berwajah secantik dan senyum semanis mungkin, agar mertua 'jatuh hati' kepada menantunya. Walaupun itu semua hanya kepura-puraan. Kenapa sih harus terjadi kepura-puraan itu. Bukankah mertua itu sama dengan 'orangtua' kita?.
Entah kenapa para menantu mayoritas mungkin pernah bermasalah dengan mertuanya. Atau mungkin sebaliknya. Hanya kesalahan dalam berkomunikasi atau melakukan hal-hal sepele yang tidak disukai satu sama lain, sehingga timbulah satu perbedaan atau ketegangan diantara keduanya. Saya rasa semua itu wajar. Dengan orang tua kita saja, kadang timbul perbedaan pendapat dan prinsip. Saya sendiri belum mempunya mertua, jadi sebetulnya saya belum bisa membayangkan atau mendeskripsikannya langsung. Saya hanya mendengar dari seputar pembicaraan mertua dari teman – teman saya atau dari saudara-saudara saya yang sudah menikah.
Percakapan tentang sosok seorang menantu saya dengar hari ini dari seorang teman kerja saya, dia berbicara mengenai ibu mertuanya yang konon katanya super bawel dan galak. Beruntungnya teman saya itu tidak tinggal bersama dengan Ibu mertuanya, dia lebih memilih untuk menyicil sebuah rumah KPR tipe mungil yang berada di pinggiran kota Jakarta. Walaupun letaknya jauh dari tempat kerja dia dan suaminya, dan pusat kota. Teman saya merasa jauh lebih bahagia dan tenang daripada harus menumpang di rumah mertuanya yang tinggal di pusat kota. Kebetulan orang tua teman saya ini berada di luar kota Jakarta, jadi tidak mungkinkan kalau dia harus menumpang di rumah orangtuanya dan berpisah dari sang suami yang mencari nafkah di Jakarta. Awal pernikahan teman saya sempat menumpang beberapa bulan menetap bersama sang mertua. Bulan pertama pernikahan segala sesuatunya berjalan lancar, sang ibu mertua sangat perhatian kepadanya. Entah kenapa setelah melewati bulan pertama, sang ibu mertua mulai terlihat sangat menyebalkan. Ada saja hal-hal yang membuat dia selalu di 'tegur' oleh sang ibu mertua. Mulai dari bumbu masakan sampai dengan gaya berpakaiannya. Dan temanku masih bisa bersikap santai dan berusaha mengikuti mau sang ibu mertua, tapi lama-kelamaan dia menjadi jengah juga.
Dibulan ketiga pernikahannya, setiap pagi saat dia datang ke kantor pasti ada saja yang dikeluhkan tentang ibu mertuanya.
“Gw kan kurang suka dandan, and kalian tahu tiap pagi saat gw mau berangkat kerja, ada aja yang dibahas tentang gaya dandan gw sama tuh madam (madam tuh panggilan dari teman saya untuk ibu mertuanya), yah masalah alis gw lah, kenapa gw nggak pakai lipstiklah, atau muka gw pucatlah kayak penyakitan. Ada aja yang salah!”.
“Belum lagi dia paksa gw untuk belajar bahasa Jawa, secara dia jelas-jelas tahu gw bukan orang Jawa, dan semua masakan gw dibilang rasanya aneh”.
“Gw udah benar-benar nggak kuat tinggal disana..semua yang gw lakuin pasti salah dimata dia (sang mertua)” katanya datar dengan ekspresi wajah menahan tangis. Dan tentunya temanku harus tetap berwajah semanis mungkin didepan sang ibu mertua.
Dan aku hanya diam seribu bahasa.
Sepertinya 'masalah' dengan sang mertua tidak hanya dialami oleh teman kerjaku saja. Bahkan saudara sepupu perempuanku mengalaminya. Perbedaannya, saudara perempuanku ini tidak menganggapi perbedaan pendapat dengan ibu mertuanya dengan serius atau sampai dimasukan kedalam hatinya. Sepupuku lebih banyak menanggapinya dengan melucu atau dengan memasang mimik lugu saat sang ibu mertua sedang memberikan 'ceramah' atau 'wejangan' kepadanya. Dan tentu saja aku sangat yakin kalau semua yang dikatakan oleh ibu mertuanya tidak semuanya didengarkan baik-baik olehnya. Mengingat sifat sepupuku yang super cuek bebek dan gokil yang melekat didalam dirinya. Walhasil 'wejangan' dan 'ceramah' sang ibu mertua kepada sepupuku menjadi cerita lucu disaat kami sedang berkumpul.
Saya jadi teringat rasanya waktu pertama kali saya dibawa oleh mantan pacar saya untuk dikenalkan kepada ibunya. Wuiihh...rasanya tuh nggak karuan. Bingung, pusing dan sedikit mual menjadi campur aduk. Dan hal itu membuat tangan saya berkeringat saat saya memegang tangan ibunya. Padahal waktu itu saya tidak berniat untuk minta restu dinikahkan dengan anak lelakinya, hanya suatu kebetulan yang mempertemukan aku dengan ibunya.
Kebetulan atau direncanakan tetap saja momok menakutkan atau rasa kaku menghantui para pacar dan calon pacar saat pertemuan pertama dengan sang calon ibu mertua membuat nervous.
Hmm..tapi sebenarnya itu hanya perasaan para sang menantu atau calon menantu saja kok menurut saya. Takut bertingkah salah atau takut tidak disukai sang mertua dan takut tak mendapat restu dari mereka. Intinya mertua itu adalah orang tua kita yang kedua. Mereka adalah orang tua yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik lelaki/wanita yang menjadi pilihan teman hidup kita. Jadi sudah seharusnya kita menghormati dan menyayangi mereka seperti kita menghormati dan menyayangi kedua orang tua kita. Dan kalau memang keadaan memungkinkan menurut saya lebih baik setelah menikah kita belajar untuk hidup mandiri, mencoba untuk belajar tinggal berdua dan memulai awal membuat satu keluarga kecil yang baru.
No comments:
Post a Comment